Banyak dijumpai depot-depot pengisian air isi ulang dengan harga yang seragam: Rp 4.000,- per galon. Sementara, di lain pihak, banyak iklan yang menawarkan teknologi air isi ulang tersebut dengan harga mulai Rp 8 jutaan sampai Rp 56 jutaan. Mengapa rentang harga begitu besar? Sebagai konsumen, Anda perlu mencermatinya.
Seorang ibu yang tinggal di daerah Kebunjeruk pernah mengeluh bahwa rasa air isi ulang yang dibelinya agak aneh. Oleh karena itu ia tidak berani meminumnya meski oleh penjualnya diklaim sudah bisa langsung minum. Ibu tadi terpaksa memasaknya terlebih dahulu sebelum diminum.
Menurut Ir. Nusa Idaman Said, M.Eng., Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi, Material, dan Lingkungan, Direktorat Teknologi Lingkungan, air yang layak minum mempunyai standar persyaratan tertentu, yakni persyaratan fisis, kimiawi, dan bakteriologis. Jika satu parameter saja tidak memenuhi syarat maka air tersebut tidak layak untuk diminum. "Nah, bisa jadi air yang dibeli ibu tadi tidak memenuhi salah satu persyaratan. Oke, secara bakteriologis sudah tidak ada lagi bakteri patogen, tapi secara fisis dan kimiawi bagaimana? Bau, misalnya," kata Nusa.
Hal itu erat kaitannya dengan teknologi yang dipakai oleh si penjual tadi. Jika teknologi benar, maka yang dihasilkan juga bagus. Sayangnya, dengan rentang harga yang sampai hampir 100% tadi, bisa jadi ada kecurangan teknologi. Dalam arti prosesnya tidak lengkap. "Sebab, dari teknologi yang standar, bisa dipangkas separonya dengan kualitas air yang bisa dipertanggungjawabkan jika sekadar untuk layak minum."
Nusa lalu menjelaskan teknologi air isi ulang yang pernah diujicobakan di beberapa daerah padat penduduk dan sebuah pondok pesantren. Air baku (bisa dari air PAM, air sumur, atau mata air) dipompa dengan menggunakan pompa jet, sambil diinjeksi dengan larutan kaporit atau kalium permanganat. Dari sini air dialirkan ke tangki reaktor.
Dari tangki reaktor, air dialirkan ke saringan pasir cepat untuk menyaring oksida besi atau oksida mangan yang terbentuk di dalam tangki reaktor. Setelah disaring dengan saringan pasir, selanjutnya air dialirkan ke filter mangan zeolit. Di sini zat besi atau mangan yang belum sempat teroksidasi oleh khlorine atau kaporit dihilangkan. "Zat besi biasanya membuat air tidak enak kalau diminum."
Sedangkan pembubuhan kaporit dimaksudkan untuk mengoksidasi zat besi atau mangan yang ada di dalam air, serta untuk membunuh kuman atau bakteri coli.
Reaksi oksidasi besi atau mangan oleh khlorine atau kaporit akan menghasilkan ion hipokhlorit. Ion tersebut merupakan bahan oksidator yang kuat, sehingga meskipun pada kondisi pH rendah dan oksigen terlarut sedikit, dapat mengoksidasi dengan cepat.
Berdasarkan reaksi tersebut di atas, maka untuk mengoksidasi setiap 1 mg/l zat besi dibutuhkan 0,64 mg/l khlorine, dan setiap 1 mg/l mangan dibutuhkan 1,29 mg/l khlorine. Artinya, untuk menghilangkan 1 mg/l zat besi dibutuhkan 0,64 khlorine. Akan tetapi, seperti ditulis Media Indonesia, pada praktiknya pemakaian khlorine ini lebih besar dari kebutuhan teoritis karena adanya reaksi-reaksi samping yang mengikutinya.
Kemudian, dari filter mangan zeolit air selanjutnya dialirkan ke filter karbon aktif untuk menghilangkan polutan mikro, seperti zat organik, deterjen, bau, senyawa phenol, logam berat, dan lain-lain. Setelah melalui filter karbon aktif, air dialirkan ke filter cartrige ukuran 0,5 mikron untuk menghilangkan sisa partikel padatan yang ada di air, sehingga air menjadi benar-benar jernih.
Selanjutnya, air dialirkan ke sterilisator ultraviolet agar seluruh bakteri atau mikroorganisme yang ada di air dapat dibunuh secara sempurna. Untuk lebih aman lagi, bisa dilengkapai dengan ozon generator yang diinjeksikan setelah filter cartridge. ''Air yang keluar dari sistem ini sudah siap minum," kata Nusa.
Dalam kaitannya dengan sinar UV, Nusa menegaskan bahwa sinar ini sangat berbahaya jika kena mata. Oleh sebab itu sinar ini dikemas dalam tempat tertutup dan hanya ada lampu indikator yang menandakan bahwa sinar UV yang warnanya cenderung putih itu bekerja. "Ada pekerja saya yang hampir buta gara-gara melihat 'keindahan' sinar UV," katanya. Jadi, jangan percaya jika ada yang memberitahu bahwa sinar biru keunguan yang sering menyala di setiap peralatan depot air isi ulang adalah sinar UV. "Bukan sinar itu yang bisa membunuh bakteri. Itu cuma lampu akuarium," tandas Nusa.
Menurut Nusa, dengan proses pengolahan air seperti itu, harganya peralatan memang menjadi mahal. Tak aneh jika ada yang kemudian memotong sebagian proses dengan menekankan pada sterilisasi dengan sinar UV dan ozonisasi. Jadi proses penghilangan bau, polutan mikro, logam berat, dan sebagainya diabaikan. Alasannya, air sumbernya sudah bagus. Jadi tinggal membunuh bakterinya. "Akan tetapi, kalau saya pakai proses yang lengkap tentu rasanya berbeda dibandingkan dengan yang prosesnya terpotong."
Nusa justru menekankan soal standarisasi teknologi air isi ulang ini. Belum adanya standardisasi membuat persaingan menjadi tidak sehat. Memang harga jualnya bisa seragam, Rp 2.500,- per galon. Tapi harga peralatan menjadi tidak seragam dengan rentang yang sangat luas. "Ada yang Rp 30 juta, ada yang Rp 60 juta." Standardisasi itu juga demi kepentingan pengusaha depot air isi ulang, jadi bukan melulu demi konsumen.
Misalkan ada yang beli peralatan seharga Rp 30 juta, dan ternyata kualitas air yang dihasilkan tidak bagus. Karena ini bisnis kepercayaan, konsumen bisa jadi beralih ke depot lain yang kualitas airnya lebih bagus. Nah, standardisasi akan membuat kualitas air yang dikeluarkan tidak begitu berbeda. Kalaupun ada yang mahal, itu lebih hanya ke arah nonteknologi. Bisa displaynya menarik, atau ruang konternya nyaman.
Hal lain yang ditegaskan oleh Nusa adalah soal botol kemasan. "Botol itu kan kualitasnya beragam dan tergantung konsumen," kata Nusa. Memang di depot isi ulang biasanya disediakan alat pembersih, tapi itu tidak menjamin botol akan steril. Jadi, kontaminasi lebih banyak terjadi di botol. Menurut Nusa, di pabrik air minum dalam kemasan pun soal botol ini paling susah pengontrolannya. "Ada ribuan botol yang harus dibersihkan." Oleh sebab itu biasanya hanya dilakukan sampling saja. Beberapa botol dicomot sebagai tester pengontrolan saja."
Air isi ulang ini memang bagusnya hanya untuk sekali pakai saja. Dengan pemakaian harian tidak memungkinkan mikroorganisme berkembang. "Ya sama dengan memasak, kalau dibiarkan lama kan apa menjamin tetap steril setelah beberapa hari?" Ini berbeda dengan air PAM yang memiliki kandungan klor 0,1 ppm. Agak bau memang, namun sepanjang kandungan klor masih segitu maka mikroorganisme tidak berani masuk ke air. Ini berbeda dengan ozonisasi dan UV-isasi. Begitu selesai, tidak ada ozon dan sinar UV yang mengendap di air.
Seorang ibu yang tinggal di daerah Kebunjeruk pernah mengeluh bahwa rasa air isi ulang yang dibelinya agak aneh. Oleh karena itu ia tidak berani meminumnya meski oleh penjualnya diklaim sudah bisa langsung minum. Ibu tadi terpaksa memasaknya terlebih dahulu sebelum diminum.
Menurut Ir. Nusa Idaman Said, M.Eng., Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi, Material, dan Lingkungan, Direktorat Teknologi Lingkungan, air yang layak minum mempunyai standar persyaratan tertentu, yakni persyaratan fisis, kimiawi, dan bakteriologis. Jika satu parameter saja tidak memenuhi syarat maka air tersebut tidak layak untuk diminum. "Nah, bisa jadi air yang dibeli ibu tadi tidak memenuhi salah satu persyaratan. Oke, secara bakteriologis sudah tidak ada lagi bakteri patogen, tapi secara fisis dan kimiawi bagaimana? Bau, misalnya," kata Nusa.
Hal itu erat kaitannya dengan teknologi yang dipakai oleh si penjual tadi. Jika teknologi benar, maka yang dihasilkan juga bagus. Sayangnya, dengan rentang harga yang sampai hampir 100% tadi, bisa jadi ada kecurangan teknologi. Dalam arti prosesnya tidak lengkap. "Sebab, dari teknologi yang standar, bisa dipangkas separonya dengan kualitas air yang bisa dipertanggungjawabkan jika sekadar untuk layak minum."
Nusa lalu menjelaskan teknologi air isi ulang yang pernah diujicobakan di beberapa daerah padat penduduk dan sebuah pondok pesantren. Air baku (bisa dari air PAM, air sumur, atau mata air) dipompa dengan menggunakan pompa jet, sambil diinjeksi dengan larutan kaporit atau kalium permanganat. Dari sini air dialirkan ke tangki reaktor.
Dari tangki reaktor, air dialirkan ke saringan pasir cepat untuk menyaring oksida besi atau oksida mangan yang terbentuk di dalam tangki reaktor. Setelah disaring dengan saringan pasir, selanjutnya air dialirkan ke filter mangan zeolit. Di sini zat besi atau mangan yang belum sempat teroksidasi oleh khlorine atau kaporit dihilangkan. "Zat besi biasanya membuat air tidak enak kalau diminum."
Sedangkan pembubuhan kaporit dimaksudkan untuk mengoksidasi zat besi atau mangan yang ada di dalam air, serta untuk membunuh kuman atau bakteri coli.
Reaksi oksidasi besi atau mangan oleh khlorine atau kaporit akan menghasilkan ion hipokhlorit. Ion tersebut merupakan bahan oksidator yang kuat, sehingga meskipun pada kondisi pH rendah dan oksigen terlarut sedikit, dapat mengoksidasi dengan cepat.
Berdasarkan reaksi tersebut di atas, maka untuk mengoksidasi setiap 1 mg/l zat besi dibutuhkan 0,64 mg/l khlorine, dan setiap 1 mg/l mangan dibutuhkan 1,29 mg/l khlorine. Artinya, untuk menghilangkan 1 mg/l zat besi dibutuhkan 0,64 khlorine. Akan tetapi, seperti ditulis Media Indonesia, pada praktiknya pemakaian khlorine ini lebih besar dari kebutuhan teoritis karena adanya reaksi-reaksi samping yang mengikutinya.
Kemudian, dari filter mangan zeolit air selanjutnya dialirkan ke filter karbon aktif untuk menghilangkan polutan mikro, seperti zat organik, deterjen, bau, senyawa phenol, logam berat, dan lain-lain. Setelah melalui filter karbon aktif, air dialirkan ke filter cartrige ukuran 0,5 mikron untuk menghilangkan sisa partikel padatan yang ada di air, sehingga air menjadi benar-benar jernih.
Selanjutnya, air dialirkan ke sterilisator ultraviolet agar seluruh bakteri atau mikroorganisme yang ada di air dapat dibunuh secara sempurna. Untuk lebih aman lagi, bisa dilengkapai dengan ozon generator yang diinjeksikan setelah filter cartridge. ''Air yang keluar dari sistem ini sudah siap minum," kata Nusa.
Dalam kaitannya dengan sinar UV, Nusa menegaskan bahwa sinar ini sangat berbahaya jika kena mata. Oleh sebab itu sinar ini dikemas dalam tempat tertutup dan hanya ada lampu indikator yang menandakan bahwa sinar UV yang warnanya cenderung putih itu bekerja. "Ada pekerja saya yang hampir buta gara-gara melihat 'keindahan' sinar UV," katanya. Jadi, jangan percaya jika ada yang memberitahu bahwa sinar biru keunguan yang sering menyala di setiap peralatan depot air isi ulang adalah sinar UV. "Bukan sinar itu yang bisa membunuh bakteri. Itu cuma lampu akuarium," tandas Nusa.
Menurut Nusa, dengan proses pengolahan air seperti itu, harganya peralatan memang menjadi mahal. Tak aneh jika ada yang kemudian memotong sebagian proses dengan menekankan pada sterilisasi dengan sinar UV dan ozonisasi. Jadi proses penghilangan bau, polutan mikro, logam berat, dan sebagainya diabaikan. Alasannya, air sumbernya sudah bagus. Jadi tinggal membunuh bakterinya. "Akan tetapi, kalau saya pakai proses yang lengkap tentu rasanya berbeda dibandingkan dengan yang prosesnya terpotong."
Nusa justru menekankan soal standarisasi teknologi air isi ulang ini. Belum adanya standardisasi membuat persaingan menjadi tidak sehat. Memang harga jualnya bisa seragam, Rp 2.500,- per galon. Tapi harga peralatan menjadi tidak seragam dengan rentang yang sangat luas. "Ada yang Rp 30 juta, ada yang Rp 60 juta." Standardisasi itu juga demi kepentingan pengusaha depot air isi ulang, jadi bukan melulu demi konsumen.
Misalkan ada yang beli peralatan seharga Rp 30 juta, dan ternyata kualitas air yang dihasilkan tidak bagus. Karena ini bisnis kepercayaan, konsumen bisa jadi beralih ke depot lain yang kualitas airnya lebih bagus. Nah, standardisasi akan membuat kualitas air yang dikeluarkan tidak begitu berbeda. Kalaupun ada yang mahal, itu lebih hanya ke arah nonteknologi. Bisa displaynya menarik, atau ruang konternya nyaman.
Hal lain yang ditegaskan oleh Nusa adalah soal botol kemasan. "Botol itu kan kualitasnya beragam dan tergantung konsumen," kata Nusa. Memang di depot isi ulang biasanya disediakan alat pembersih, tapi itu tidak menjamin botol akan steril. Jadi, kontaminasi lebih banyak terjadi di botol. Menurut Nusa, di pabrik air minum dalam kemasan pun soal botol ini paling susah pengontrolannya. "Ada ribuan botol yang harus dibersihkan." Oleh sebab itu biasanya hanya dilakukan sampling saja. Beberapa botol dicomot sebagai tester pengontrolan saja."
Air isi ulang ini memang bagusnya hanya untuk sekali pakai saja. Dengan pemakaian harian tidak memungkinkan mikroorganisme berkembang. "Ya sama dengan memasak, kalau dibiarkan lama kan apa menjamin tetap steril setelah beberapa hari?" Ini berbeda dengan air PAM yang memiliki kandungan klor 0,1 ppm. Agak bau memang, namun sepanjang kandungan klor masih segitu maka mikroorganisme tidak berani masuk ke air. Ini berbeda dengan ozonisasi dan UV-isasi. Begitu selesai, tidak ada ozon dan sinar UV yang mengendap di air.