Sudah lama sebetulnya saya ingin menulis pengalaman saya ini yang terjadi pada sebuah hari Minggu di awal bulan April. Cerita saya kali ini tentang anak-anak yang punya semangat besar untuk menghidupkan rumah Allah.
Ceritanya, suatu ketika saya sedang bermain di rumah mbah saya yang berada di daerah bernama Temenggungan, sebuah kelurahan yang berada di Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan. Entah mengapa kala itu hati saya begitu tergerak untuk memenuhi sebuah panggilan berupa lantunan adzan yang sangat indah dari suara seorang anak kecil melalui pengeras suara.
Maka akhirnya bergegaslah saya memenuhi kewajiban dzuhur saya. Mulai dari awal, semula saya pun bingung. Saya hanya menemukan anak-anak kecil yang menemani saya berwudhu hingga komat tanda deadline shalat di mushola itu dikumandangkan. Masih dari suara seorang anak kecil.
Penasaran, saya sibak sedikit tirai pembatas jamaah laki-laki dan perempuan. Yang kemudian saya temukan adalah, masihlah anak-anak kecil yang nampak sibuk bercanda.
"Lho, imamnya mana?" tanya saya kebingungan karena penasaran, mengapa anak-anak ini berani mengumandangkan adzan dan komat tanpa ada orang dewasa sama sekali. Dan jawaban saya itu pun lantas dijawab oleh sikap saling tatap dan senyum-senyum dari wajah cilik mereka.
Sedetik dua detik, barulah saya sadar, memang tidak akan ada orang dewasa di shalat jamaah dzuhur kali itu. "Ya sudah deh, salah satu jadi imamnya sana, gih!" pinta saya.
Lantas shalat dzuhur saya dengan anak-anak itu pun dimulai dan kemudian berakhir dengan lancar. Namanya saja shalat dengan anak-anak, ada saja tingkah mereka yang memang tidaklah bisa berlaku tertib dan hening selama shalat berlangsung. Misalnya suara anak bersendawa yang disengaja dan tiada henti-hentinya. Hehehe… dasar anak-anak!
Usai shalat dzuhur, penasaran, saya tanyai anak-anak tersebut. Anak yang mengumandangkan adzan bernama Yoga, seorang anak yang masih duduk di kelas 4 SD. Sedangkan yang menjadi imam dan sayangnya saya lupa namanya, masih duduk di kelas 3 SD. Dari sekian jumlah anak-anak tersebut, hanya satu orang yang paling tua dan itu pun masih duduk di kelas 5 SD.
"Shalat seperti ini ya memang sering kalian lakukan tanpa orang dewasa?" tanya saya yang dijawab dengan kata iya dan anggukan kepala dari anak-anak tersebut. Mereka sendiri tidak tahu, mengapa mereka kerap hanya berjamaah sendiri tanpa orang dewasa.
Uniknya, saya dengan naif bisa bertanya, "Lho, hari Minggu begini ini apa orangtua kalian tidak libur?" tanya saya lugu demi berpikir, jika anaknya saja bisa shalat berjamaah di mushola, mengapa orangtuanya tidak?
Pertanyaan saya dijawab balik dengan wajah keheranan dari anak-anak tersebut. Pasalnya, orangtua mereka bukanlah pegawai yang bisa libur di hari Minggu. Mereka anak-anak dari orangtua yang terus mengais rezeki setiap hari untuk membuat dapur tetap mengepul.
Saat berjalan pulang, saya membatin berbagai pikiran. Suara adzan yang sungguh cantik, dan anak-anak yang mandiri dengan tetap bersama membuat rumah Allah itu tetap berfungsi sebagai mana mestinya. Sungguh, anda saya orangtua mereka, banggalah saya pastinya memiliki anak-anak seperti itu yang tanpa saya sebagai orangtuanya, meminta mereka dalam sebentuk perintah wajib!
Ceritanya, suatu ketika saya sedang bermain di rumah mbah saya yang berada di daerah bernama Temenggungan, sebuah kelurahan yang berada di Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan. Entah mengapa kala itu hati saya begitu tergerak untuk memenuhi sebuah panggilan berupa lantunan adzan yang sangat indah dari suara seorang anak kecil melalui pengeras suara.
Maka akhirnya bergegaslah saya memenuhi kewajiban dzuhur saya. Mulai dari awal, semula saya pun bingung. Saya hanya menemukan anak-anak kecil yang menemani saya berwudhu hingga komat tanda deadline shalat di mushola itu dikumandangkan. Masih dari suara seorang anak kecil.
Penasaran, saya sibak sedikit tirai pembatas jamaah laki-laki dan perempuan. Yang kemudian saya temukan adalah, masihlah anak-anak kecil yang nampak sibuk bercanda.
"Lho, imamnya mana?" tanya saya kebingungan karena penasaran, mengapa anak-anak ini berani mengumandangkan adzan dan komat tanpa ada orang dewasa sama sekali. Dan jawaban saya itu pun lantas dijawab oleh sikap saling tatap dan senyum-senyum dari wajah cilik mereka.
Sedetik dua detik, barulah saya sadar, memang tidak akan ada orang dewasa di shalat jamaah dzuhur kali itu. "Ya sudah deh, salah satu jadi imamnya sana, gih!" pinta saya.
Lantas shalat dzuhur saya dengan anak-anak itu pun dimulai dan kemudian berakhir dengan lancar. Namanya saja shalat dengan anak-anak, ada saja tingkah mereka yang memang tidaklah bisa berlaku tertib dan hening selama shalat berlangsung. Misalnya suara anak bersendawa yang disengaja dan tiada henti-hentinya. Hehehe… dasar anak-anak!
Usai shalat dzuhur, penasaran, saya tanyai anak-anak tersebut. Anak yang mengumandangkan adzan bernama Yoga, seorang anak yang masih duduk di kelas 4 SD. Sedangkan yang menjadi imam dan sayangnya saya lupa namanya, masih duduk di kelas 3 SD. Dari sekian jumlah anak-anak tersebut, hanya satu orang yang paling tua dan itu pun masih duduk di kelas 5 SD.
"Shalat seperti ini ya memang sering kalian lakukan tanpa orang dewasa?" tanya saya yang dijawab dengan kata iya dan anggukan kepala dari anak-anak tersebut. Mereka sendiri tidak tahu, mengapa mereka kerap hanya berjamaah sendiri tanpa orang dewasa.
Uniknya, saya dengan naif bisa bertanya, "Lho, hari Minggu begini ini apa orangtua kalian tidak libur?" tanya saya lugu demi berpikir, jika anaknya saja bisa shalat berjamaah di mushola, mengapa orangtuanya tidak?
Pertanyaan saya dijawab balik dengan wajah keheranan dari anak-anak tersebut. Pasalnya, orangtua mereka bukanlah pegawai yang bisa libur di hari Minggu. Mereka anak-anak dari orangtua yang terus mengais rezeki setiap hari untuk membuat dapur tetap mengepul.
Saat berjalan pulang, saya membatin berbagai pikiran. Suara adzan yang sungguh cantik, dan anak-anak yang mandiri dengan tetap bersama membuat rumah Allah itu tetap berfungsi sebagai mana mestinya. Sungguh, anda saya orangtua mereka, banggalah saya pastinya memiliki anak-anak seperti itu yang tanpa saya sebagai orangtuanya, meminta mereka dalam sebentuk perintah wajib!